Trust and Productivity
Memiliki anggota tim dalam sebuah organisasi dengan kesibukan yang tinggi pada setiap individunya, terkadang membuat leader merasa ‘kesepian’ karena merasa ‘ditinggal’ oleh anggotanya. Padahal belum tentu yang dirasakan leader benar.
Apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19, secara tidak langsung kita dibuat terbiasa melakukan kegiatan secara hybrid (online dan offline). Umumnya, kebiasaan yang berubah akan memunculkan konflik baru dalam berkomunikasi. Entah dalam bentuk penolakan maupun penerimaan.
Bagaimana cara menanggapinya adalah hal yang perlu terus dipelajari. Jangan sampai salah menanggapi, berimbas pada berkurangnya respect dan performa anggota tim.
Jika dilihat lebih jauh, setiap anggota memiliki tujuan masing-masing masuk ke dalam sebuah organisasi. Entah itu tujuan individu maupun kelompok, tapi seiring berjalannya waktu tujuan setiap individu bisa berubah menjadi tujuan yang lebih besar impact-nya, jika budaya yang dibangun mendukung dan organisasi diarahkan dengan baik.
Trust atau kepercayaan merupakan salah satu cara untuk membangun budaya kerja (working culture) yang baik di dalam sebuah organisasi. Kepercayaan bukan hanya berdampak pada output yang dihasilkan oleh tim, tapi juga bagi setiap individu yang berkontribusi di dalamnya.
Trust bukan hanya tentang percaya, bahwa setiap anggota dapat melaksanakan tanggung jawabnya, tetapi juga membangun hubungan yang baik antar individu. Hal ini dilakukan agar mereka percaya bahwa tanggung jawab yang diberikan bisa diselesaikan dengan cara mereka sendiri, tanpa keluar dari tujuan (goals) dan kesepakatan yang telah ditentukan.
Iqbal Hariadi dalam podcast-nya (Podcast Subjective), menyatakan bahwa kepercayaan dan keleluasaan yang diberikan leader kepada anggotanya, akan membuat mereka memiliki performa yang baik. Tapi tetap, kita perlu mengecek kesepakatan yang telah dilakukan. Tidak sesuai standar? It’s okay, coba lagi. Karena kepercayaan lebih penting dari output yang dihasilkan.
Trust juga membuka komunikasi yang lebih baik bagi setiap anggota di dalam tim. Mereka akan lebih nyaman dan terbuka dalam berkomunikasi, memberikan pendapat, bahkan menerima kritik yang mungkin bagi sebagian orang adalah ‘aib’. Bagaimana caranya?
Amy Jen Su, Co-founder and Managing Partner of Paravis Partners dalam tulisannya menyatakan bahwa, banyak cara yang dilakukan untuk membangun trust culture di dalam sebuah organisasi, diantaranya percaya pada performanya dan buatlah trust sebagai dasar dari sebuah organisasi.
Sesekali mengadakan pertemuan one on one mengenai pekerjaan maupun di luar pekerjaan, adil dalam memberikan feedback, membiasakan budaya ‘good judgment’ dan ‘okay to be fail’ akan membuat anggota lebih nyaman mengutarakan pendapatnya. Rasa malu, bahkan tertekan saat mengutarakan ide, perlahan akan hilang dengan budaya yang dibangun.
Ternyata, begitu besar dampak trust yang diberikan seorang leader kepada anggotanya. Mulai dari kepercayaan diri hingga meningkatnya performa kerja, sehingga output yang dihasilkan sesuai dengan kesepakatan yang ada.
Apakah mudah menjalaninya? Tentu tidak. Pasti ada trial and error yang terjadi, tapi dengan adanya evaluasi dan terus mencoba, bisa jadi kultur tersebut akan terbentuk dengan sendirinya. Sebagai refleksi bersama, leader bukan hanya mengajak anggotanya untuk bekerja, tapi bekerja untuk anggotanya agar mereka mendapatkan feedback dari kerja yang dilakukan.
Sudah siapkah kita menjalankannya?
Firda Shabrina
Innovation Learning Researcher
Social Innovation Hub Indonesia
Sumber:
Podcast Subjective: 7 Tips untuk First-Time Manager (https://open.spotify.com/episode/0m3tqzx8NlWBDurEG59dr0?si=eb46123fad934468)
https://hbr.org/2019/12/do-you-really-trust-your-team-and-do-they-trust-you
https://www.forbes.com/sites/danabrownlee/2019/10/20/5-reasons-why-trust-matters-on-teams/?sh=3039d6a82d60
https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1038828.pdf